Photo by Tommy doc. |
Barulah ketika ia beranjak dari Balikpapan dan mulai menetap di Jogyakarta sebagai mahasiswa komunikasi di salah satu universitas, ia mendirikan Warning Magazine: sebuah media musik dengan tampilan full color dan glossy. Yang mana majalahnya tersebut kini sudah mencapai 4 edisi. Dan untuk mengetahui asal-usul/proses transisi dari Salah Cetax ke Warning Magazine, berikut hasil wawancaranya. (AL)
Hallo Tom. Lagi sibuk apa nih ?
Ini lagi ngedit foto-foto Carcass di Rock in Solo kemarin mas. sama ya sibuk mikir judul skripsi hehe.
Walaupun kedengerannya basi, tapi kayanya seru nih kalau kamu cerita tentang perkenalan dengan zine. Prosesnya bagaimana tom ?
Gpp, yang basi juga kadang enak hehe. Kenal zine ya, itu dulu kalo gak salah akhir 2006. Zine pertama yang kubaca Arus Bawah buatan Fitrah No Label Recs. Terus tertarik cari tau, datang kelapakan, ketemu mas-mas punk buat cari zine. Ini bukan hal yang mudah untuk kota kaya Balikpapan yang serba terbatas. hehehe. Diawal-awal itu dapat Jalur Bebas, Hantam Stagnansi. Nah dulu, dari si mas editor Jalur Bebas ini, aku suka order zine.
Sampai akhirnya kamu mendirikan Salah Cetax. Sedikit sejarah SalCet, mungkin ?
Dari dapat banyak zine itu, aku pikir kayaknya asik nih kalo buat zine juga pake semangat “gak perlu jadi penulis & desainer grafis handal dulu untuk buat media”. Terus kebetulan juga suka musik punk, nah temen-temen dulu pada bikin band, ketidak-mampuanku bermain band juga jadi faktor untuk bikin zine. Ya, ide awalnya sesederhana pengen ikut senang-senang juga dalam hingar bingar punk. Alasanlainnya, waktu itu gara-gara pengen tau tentang band-band yang kusuka, dan ku pikir itu bisa dilakukan lewat interview-interview di zine.
Setau saya, kamu memulai semuanya di saat masih menjadi pelajar SMA. Apa yang membedakan membuat zine kala itu dengan kondisi kamu sekarang ?
Tepatnya tahun 2007, kelas 3 SMP itu Salah Cetax 1 – 4. Isinya copas dari internet, soalnya dulu sering baca slogan fuck copyright. Masuk SMA, memberanikan diri bikin interview. Indikator narasumbernya cuma berdasarkan band/individu yang kusuka, dan ini gak berubah sampe edisi terakhir (12). Yang berubah mungkin setelah lulus SMA ya, edisi 11-12 itu mulai pake edit EYD—tapi gak kaku-kaku banget. Kalo edisi 1-10 bener-bener gak pake cekulang, langsung hajar dengan pembenaran politis: “Punk kok!”, padahal ya dulu malas aja buat ngedit.
Bagaimana kamu melihat kiprah zine lokal saatini ?Adakah progressnya ?
Dari kacamatakuya, zine non-punk semakin banyak, jadi beragam—beradasarkan observasi di festival-festival zine. Tapi satu yang pudar, review zine. Jarang liat zine-zine baru, yang ada rubrik review zine. Padahal, bagiku, ini rubrik paling keren. Salah satu yang bikin semangat nerbitin Salah Cetax ya gara-gara baca respon di rubrik review ini. Dari trade, trus direview, ini budaya zine yang paling menyenangkan. Kalo soal zine 2014, salut buat nobody zine yang masih rutin cetak.
Sekarang kamu juga dikenal sebagai editor in chief dariWarning Magazine. Ceritain sedikit dong apa sih itu ?
Hehehe. Oke, pendek aja ya. Jadi dulu punya cita-cita bikin kolektif media lintas kota, dan alhamdulilah bisa terwujud lewat Warning ini. Proses kerjanya, hampir sama dengan zine. Cuma lebih serius sedikit dan dikerjakan ramai-ramai. Awalnya dalam bentuk webzine, terus tahun 2013, Warning muncul sebagai majalah cetak. Terbit tiga bulan sekali, yang disebar banyak kotabesar di Indonesia. Saat ini dikerjakan lebih dari 20 orang, yang tersebar di beberapa kota. Berbeda dengan Salah Cetax, Warning bukan majalah punk —walau selalu ada konten tentang punk didalamnya.
Photo by Alfian Putra A. |
Warning-kan hadir sebagai majalah musik. Tapi kita emang selalu nyelipin konten sosial-politik. Kalo dilihat dari dua hal itu, benar, mirip dengan Salah Cetax. Tapi tentu ada banya khal yang membedakan. Misal dari proses kerja, di Warning-kan kerja kolektif, terus konsep awalnya gak pake hierarki, jadi tiap individu berhak mengeluarkan-menyalurkan ide apapun —dengan tanggung jawab tentunya. Beda dengan zine kan, aku jadi boss di zine ku sendiri, mau ngapain aja gak perlu pake diskusi dulu. Terus dari pembaca, kalo di salah cetax jelas, yang baca anak-anak punk, nah kalo di Warning lebihl uaslagi.
Apakah ada emosi yang berbeda ketika menjalankan Warning dan Salah Cetax ?
Tentu, ternyata kerja kolektif itu sungguh menyenangkan —juga melelahkan, paling menikmati ketika rapat-rapat pengambilan tema atau waktu evaluasi. Nah disinikan banyak perspektif, jadi selalu dapat pelajaran baru. Dan itu gak ku dapat di zine yang dikerjakan seoarang diri.
Terus sedikit ceritalagi, di SalahCetax, gak pernah ada pembaca yang gak tau konten yang di angkat—di nilai dari gak pernah ada yang tanya. Di Warning, dengan pembaca yang lebih beragam, beberapa kali menemukan pertanyaan-pertanyaan kaya “siapasih Joshua Oppenheimer” atau yang lebih parah ketika memuat artwork Anti-Tank yang Wiji Thukul, masih ada beberapa yang Tanya “itu siapa”. Ternyata bener isu sospol, tidak diminati remaja. Isu-isu kaya gini yang dilempar di Warning, berangkat dari observasi itu tadi, anak muda kan udah dibentuk sedemikian rupa buat gak suka tentang isu-isu ini. Nah lewatWarning, yang notabene majalah musik kita coba selalu nyisip in isu-isu itu. Kasarnya, mengemas muatan politik dalam bentuk yang ngepop.
Secara kamu berkecimpung dalam dunia musik. Menurut kamu bagaimana masa depan menjadi wartawan musik ? Apakah cukup menjanjikan secara finansial ? :p
Hahaha.Wah, maaf, kurang tau untuk pastinya, tapi yang jelas,tergantung medianya sih, gak bisa di generalisir. Tentu jurnalis musik di tempat A bakal beda dengan di tempat B secara finansial.
Momen apa yang membuat kamu senang bukan kepalang ketika menjalankan Salah Cetax dan WarningMagazine ?
Kalo waktu buat Salah Cetax, ketika zine direviewaja, itu udah senang banget (thanks Lemarikota yang pernah ngereview). Juga waktu dapat feedback surat-surat gitu, senang bukan kepalang. Nah di Warning ini, ngelanjutin alasan untu kbikin zine dulu —bisa wawancara dengan band/individu favorit. Kebetulan aku suka sama Discharge, Anti-flag, Joshua Oppenheimer, The Mahones Dan kebetulan lagi, bisa wawancara mereka semua, tentu ini momen yang menyenangkan.
Dan tentunya, senang bisa merepresentasikan ide-ide yang kubaca, tentang bagaimana kita bisa mengorganisir media secara mandiri. Di Warning ini juga dibantu banyak orang, dan ngerasain langsung “support local bla.bla.bla” itu bukan slogan doang. Dan ternyata jaringan pertemanan yang saling support ini bisa ngegantiin sistem kompetisi dalam konteks media ya. Ini yang sering ditanyain ke kita, dan selalu kita jawab, kalo bisa saling support kenapa harus berkompetisi.
Saya kenal kamu sebagai zine maker. Apakah kamu pernah membentuk sebuah band ?
Belum, mungkin nanti ya kalau band kamu butuh vokalis baru. :p.
Setelah Salah Cetax lalu kemudian Warning Magazine. Apalagi yang akan kamu lakukan ?
Cita-cita ya, pengen nerbitin buku. Biar keren gitu. Tunggu aja ya. haha.
Photo by google doc. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar