Kamis, 23 Januari 2014

Tigapagi "Roekmana’s Repertoire", CD (Helat Tubruk, 2013)

Segala sesuatu yang dipersiapkan matang dan tak terburu-buru memang selalu akan menuai hasil yang maksimal. Begitulah yang terjadi pada trio folk/pop Tigapagi. Proses produksi album debut mereka yang memakan waktu lebih dari dua tahun, ternyata berbuah epic.

Dengan cermat mereka menggabungkan unsur musik diatonik (do, re, mi, fa sol, la, si, do) dan pentatonik. (da, mi, na, ti, la, da) yang terdapat dalam Karawitan Sunda. Keduanya menyatu tanpa harus saling merajai. Harmonisasi keduanya terjaga.

Bersemayam empat belas lagu dalam satu track tanpa jeda dengan jembatan notasi yang tidak terkesan memaksa. Mari simak “Alang-alang” yang begitu teduh dan kental akan nuansa sunda, lengkap dengan karakter vokal tamu Firza Achmar Paloh (Sore) yang menuntun pendengar menyelami bait demi bait lirik. Banyak musisi tamu yang diikut sertakan dalam album ini. Tengok lagu “Erika” yang begitu menawan dibawakan oleh Ida Ayu Made Paramita Sarasvati dari Nada Fiksi. “Tertidur” yang sukses dieksekusi oleh Aji Gergaji (The Milo). “Pasir” yang dengan begitu menegangkannya berhasil disajikan secara khas oleh Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca/Pandai Besi). Baik vokal tamu ataupun vokalis Sigit Agung Pramudita memberikan impresi yang berbeda-beda namun terdapat benang merah diantaranya; mereka berhasil memberi nyawa pada setiap lagu yang dibawakan.

Beragam bunyian dari violin, viola, cello, hingga kecapi kian menambah semarak album ini. Ditunjang dengan gaya penulisan lirik Sigit yang sarat akan metafora bahasa. Alih-alih rumit dan sukar dimengerti, lirik mereka justru menawarkan sebaliknya. Begitu puitis tapi tak berlebihan. Roekmana’s Repertoire adalah salah satu nafas baru yang kian menambah semarak skena folk lokal. Mereka begitu anggun sekaligus mencekam.

Dan satu hal lagi. Poin plus terletak dari bagaimana mereka mencoba mengemas album ini. Menyajikannya menjadi semacam kumpulan data yang tersimpan dalam satu paket dokumen rahasia, hasil dari investigasi orang-orang yang dicap “kiri”. Nuansa era Indonesia 65-66 terpancar dari kemasan album ini.

Tigapagi menjadi semacam penetralisir dari kondisi di mana folk tidak melulu soal cinta klise dan nada-nada riang. Kalian akan mendapatkan sesuatu yang berbeda. Jika bisa dikatakan, mendengarkan Tigapagi sama halnya seperti menonton adegan action yang menegangkan -penuh lika liku- namun sayang untuk dilewatkan. (AL)

Artikel Lain:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar