Senin, 16 Juni 2014

Dead Pits: Old School Hardcore Dari Kuliah Sampai Berkeluarga

Photo by Alfian Putra A.
Musik hardcore yang begitu identik dengan anak muda sepertinya memang mampu menyihir siapa saja untuk tak pernah mengenal kata tua, terlebih bagi yang memainkannya. Seperti ke lima cowok ini. Meski dari tampak luar, mereka sudah tak dapat dikatakan muda lagi namun semangat yang mereka pancarkan tetap membara. Yah mereka termasuk bagian dari generasi menolak tua. Yang begitu enggan membahas berapa banyak jumlah angka dalam hidupnya (baca: umur).

Meski helai-helai putih sudah mulai bertumbuhan disela-sela rambut hitam milik Gampang (vokal), Ivan (gitar), Patrick (bas), Edy (gitar), dan Miko (drum). "Nggak usah tanya umurlah, kalau di sini. Tau sama tau aja," celetuk Gampang. "Biasanya yang paling banyak ubannya yang paling tua," sambungnya kemudian, seraya mengundang tawa kita semua yang ada malam itu.

Jumat malam itu, seperti biasa di kediaman Patrick, mereka selalu menyempatkan diri untuk berkumpul-menjaga tali silahturami. Sudah tidak ada lagi perasaan canggung di antara mereka. Bercanda-pun begitu mengalir dan lepas. Terang saja, mereka sudah saling mengenal sejak 18 tahun yang lau ketika masih sama-sama berstatuskan mahasiswa.

Pada malam itu pula, saya memiliki kesempatan untuk menikmati secara langsung bagaimana kesyahduan di antara mereka -band hardcore asal Jakarta yang sudah eksis sejak 1996 dan baru saja merilis album terbarunya. (AL)

18 tahun eksis. Apa yang membuat kalian masih bertahan hingga kini ?
G: Gak ada penyebab apa-apa. Kita ada karna memang kita suka. Dan dari dulu kita menjadi bagian scene hc/punk Jakarta. Secara personal sih, saya ingin memberikan kontribusi ke scene. Dengan harapan, scene gak mati dan spirit nya masih ada.

I: Emang pada doyan ngband pada dasarnya. Gimana juga kalau lu suka musik tapi gak ngapa-ngapainkan, malesin juga.

Dan apa yang menjaga spirit untuk tetap eksis ?
G: Teman-teman juga sih sebenarnya. Dan kita sih pengennya terus. Karna dari awal kuliah rajin ngband tapi begitu sudah bekeluarga dan bekerja semua berhenti total dengan alasan gak punya waktu. Nah kita ingin tunjukin.

Album Kita Yang Terbaik memakan waktu 8 tahun. Apa penyebabnya ?
Gampang: Kalau mau bikin itu (album) gak bisa di paksain. Masing-masing personil juga sibuk. Sudah punya tanggung jawab semua; keluarga. Tapi Setahun-dua tahun belakangan ini kita lebih intens dan mencoba membuat album baru lagi. Dari tahun kemarin sebenarnya materinya sudah fix. Dan pas kita kontak Armstrech Records dan mereka pun siap.

Sepengetahuan saya, tahun 2012 itu kalian sudah ada rencana untuk album ?
G: Yang paling susah sih sebenarnya waktu. Buat kita itu paling berharga. Untuk kumpul seperti ini saja bersyukur banget. Kadang malah satu atau dua gak ada.

Ivan(I): Pergantian personil juga. Dari 2006. Bassis keluar. Drumer juga keluar. Beradaptasi lagi.

Pattrick(P): Mood itu timbul-tenggelam. Ada satu saat mereka merasa lelah dan pertemuan sudah tak intens lagi. Dan formasi terakhir ini kita sudah berkomitmen untuk tetap menjaga, yang membuat mood bagus adalah ngumpul. Jadi tetap terhubung terus. Dengan kumpul terus, kita bisa saling mengerti. Itu yang gua rasain sekarang.

Ada gak sih Perbedaan proses kreatif antara album ini dengan album-album sebelumnya ?
G: Kurang lebih sama. Biasanya kita bawa dulu konsepnya mentahnya, terus dimatengin di studio.

Sependengaran gua, album ini cenderung lebih gahar yah ?
I: Mungkin karna beda orang. Beda influence juga.

Oh yah, karna kalian sudah berkeluarga semua. Sejauh mana support keluarga ?
I: Keluarga gak ada yang pernah melarang sih. Tapi tetap ada satu hal yang mesti jadi nomor satu. Urusan keluarga udah beres, yah kita ngband.

P: Misalnya kita manggung. Terus ada personil yang mau nganterin anaknya ke dokter, yaudah kita gak bisa maksain. Dan keluarga kita masing-masing tau sebelum nikah, kita sudah ngband. Masalah larangan itu nggak ada.

I: Nanti lo juga pasti ngrasain deh.

Ada komentar dari keluarga tentang musik kalian ?
G: Istri udah paham, kalau kita dari dulu sudah main band. Pasti ada waktunya untuk kita sisihkan untuk ini (band). Mereka dukung tapi untuk suka musiknya, nggak.

I: Kalau kata istri gua sih gak enak. ‘Musik apaan ini. Ngband dong kaya itu’. [tertawa]

P: Kebetulan kalau gua, anak gua 2 masih pada kecil-kecil. Pelan-pelan sih gua suruh dengerin dan mereka tau. Walaupun kadang ngeluh berisik. Kalau anaknya Gampang mungkin udah terbiasa, sering nonton live juga soalnya. Kalau istri sih-gua rasa, mereka gak terlalu masuk ke musiknya.

Kalau anak lu dari kapan tuh bang mulai nonton Dead Pits?
G: Dari umur 3-4 tahun udah ikut. Pernah ada kejadian lucu tuh, waktu itu dia dengerin CD-nya FC Five. Itu bisa setiap hari, dengerinnya itu terus. Waktu itu dia kelas 1 atau 2 SD gitu. Sampai pas last tournya FC Five, gua bawa nonton dan ketemuin. Dia seneng banget. Tapi sekarang dia udah mulai pilih-pilih. Kalau acaranya panas, dia gak mau. Misalkan acaranya di Rossi, dia gak mau. [tertawa]

Yang membuat kalian memilih untuk memainkan old school hardcore ? Padahal era 90-an itu kan masih booming-nya punk.
G: Lebih kepada selera musik aja. Waktu jaman itu kita dengerin musik punk. Dulu, untuk mendapatkan kaset/cd band-band luar, susahnya setengah mati. Awalnya kita dengerin kompilasi dari Revelation Records. Akhirnya kita ngobrolin dan mau coba mainin old school. Dan gak taunya sampai sekarang.

Ide lagu "15 Detik Untuk Meditasi" datang dari mana ?
G: Awalnya pengen bikin lagu yang pendek tapi "nendang". Kita pengen bikin yang simple. Gua juga kan terinspirasi oleh band-band semacam Shelter, Better Than a Thousand. Dimana Ray Cappo sebagai frontman nya. Dia kan memang berkiblat pada ajaran Krisna. Dan dia pun suka meditasi. Lagi pula meditasi itu sebenarnya bagus. Gua pernah cobain. Beberapa menit aja, itu enak. Tapi gak semua orang suka. Gimana caranya untuk orang lain tertarik. Intinya untuk mengajak bermeditasi sih.

Untuk lagu "Itu Asap Mu" terdengar paling keras dari segi tema buat gua.
[semua tertawa]

P: Sebenarnya gini. Dari kita semua cuma Gampang doang yang gak ngrokok. Dia suka protes kalau kita lagi ngrokok di mobil. Jadi itu sindiran untuk kita-kita. Cuman jadi global temanya. Maksudnya begini, itu hal yang sadar tidak sadar. Misalnya di kendaraan umum, ada orang yang cuek ngrokok. Kalau lo pikirkan, sebenernya itu gak mesti dilakukan.

I: Gak ada paham straight edge atau apalah. Itu umum banget.

P: Apalagi sekarang kita kan sudah berkeluarga. Kalau gua lagi ngrokok terus ada anak gua. Yah gua matiin rokoknya atau nggak yah pindah.

Itu juga yang membuat image Dead Pits jadi band Straight Edge.
I: Gua juga bingung kenapa bisa begitu. Padahal kita sebelum manggung suka pada ngrokok dulu loh.

P: Mungkin orang melihat frontmannya.

G: Balik lagi. Lirik yang kita bikin sebenarnya cuma ingin bercerita dan gua gak mau menggurui. Terserah juga mau dianggap seperti apa. Itu kan interpretasi masing-masing. Kalau ada yang merasa, lagunya terlalu begini-begini, yah terserah. Kita gak bisa maksain.

Perbedaannya scene sekarang dengan ketika kalian dulu terjun ?
G: Anak sekarang lebih cepet belajar. Teknologi juga mendukung. Perbedaannya jelas, kalau duluuntuk tau band itu gak perlu lagi nongkrong dulu. Kalau dulu harus ada proses kumpulnya dulu. Masing-masing orang pun source musiknya beda-beda. Sekarang tinggal buka google. Tinggal ketik. Klik.

I:  Dulu kita mengikuti prosesnya dulu, dari musik yang kuno baru modern. Kalau sekarang, mau mainin hardcore taunya beatdown. Anak sekarang, gak tau deh, mau gak menggali musik-musik yang dulu seperti apa ? Tapi anak-anak sekarang lebih jago.

G: Terus terang kita iri. Mau ngulik sound gampang. Dulu, internet susah. Maka berbahagia lah anak-anak sekarang. [tertawa]

Planning terdekat ?
P: bikin album lagi, besok.
[semua tertawa]

G: jadi yang ini belom abis. ada lagi. dulu delapan tahun. ini gak sampai setahun.

I: Kita mau dapetin rekor muri

P: Yang paling deket. mau mikirin launching nih. Atau gak palingan tourlah, tahun ini.

**another pictures taken from dead pits doc.

Artikel Lain:

2 komentar: