Menjadi anak melodic adalah suatu hal yang membanggakan. Apalagi kalau lo seorang cowok, sering ikut basis ribut, dan ditambah selera musik lo melodic punk. Tak bisa dipungkiri hal ini menambah sekian persen aura keren dalam diri setiap orang yang menganutnya ketika itu.
Ketika trend melodic punk ini menjamur di sekolah, gua terbilang yang telat tau. Ketika itu masih asyik dengan debut albumnya Peterpan dan Sheila on 7. Seperti anak remaja ketika itu pada umumnya, gua pun ingin terlihat keren, terutama di mata lawan jenis. Mulailah mendengarkan beberapa band seperti Green Day, Nofx, Mxpx, Not Available, dan untuk lokalnya seorang teman sebangku merekomendasikan gua band-band seperti Stupidity, Konflik, Endank Soekamtie, Kuro, juga Rocket Rockers. Dari teman gua itu pula, akhirnya gua diperkenalkan oleh jenis punk rock dengan muatan lirik yang lebih bernuansa sosial politik seperti Sosial Sosial, Marjinal, Bunga Hitam, dan Silly Riot. Gua pun mulai sering ikut-ikutan datang ke gigs, berharap dapat stiker band yang manggung dan stempel tanda masuk acara yang kemudian hari Seninnya bisa gua pamerkan di kelas.
Namun selang beberapa lama, menjadi pengekor tidak berhasil membuat gua terlihat keren. Karena tetap saja yang dilihat adalah teman-teman gua yang memang sudah lebih dulu terjun ke skena ini. Hingga satu ketika, seorang teman rumah membawakan mp3 berisikan lagu-lagu hardcore yang notabene lebih ekstrim dari yang sebelumnya gua dengarkan. Wajar! Ketika itu gua pertama kali mendengarkan hardcore dari band-band total cepat seperti Manusia Buatan, Tanpa Batas, dan Domestik Doktrin. Dalam benak gua ketika itu, "Bangsat! Musik apaan ini. Liriknya gak dibaca."
Tapi walaupun ketika itu gua masih aneh dengan hardcore, Domestik Doktrin lah yang mampu mencuri perhatian gua, terutama berkat penggunaan sampling dalam setiap lagu mereka yang membuat gua penasaran. Bahkan gua belum tau bahwa itu adalah sampling, gua menyangkanya itu dimainkan oleh personilnya langsung.
Singkat cerita pada akhirnya gua mulai intens mendengarkan hardcore dan menjadikan melodic punk sebagai nomer dua. Gua mulai berkenalan dengan terminologi straight edge dan segala macam simbol X nya, yang kemudian sering gua gunakan sebagai wujud eksistensi bahwa "Woy gua anak hardcore nih!" ketika di SMP dulu. Mulai mencoret bangku, meja, hingga tembok sekolah dengan kalimat-kalimat kebanggaan semacam: hardcore still lives, hardXcore, sXe, dsb. Sebagai bentuk dari mencari pengakuan dari lingkungan gua yang ketika itu dominan menyukai melodic punk.
Hingga satu titik gua mulai mengkonsumsi segala bentuk pakaian yang ada hubungannya dengan hardcore, memakai baju straight edge tanpa peduli setan kalau gua seorang perokok dan kadang mabuk. Siapa yang peduli esensi, yang penting terlihat beda dan keren dulu itu tujuannya, men. Sialnya , sebenernya gua pun masih belum bisa membedakan antara hardcore dan punk rock ketika itu, jika nggak ada yang memberitahukan.
Sampai di satu titik, gua lagi pergi ke daerah Blok M, ketika itu ada satu distro yang menjual berbagai rilisan dan merchandise dari band lokal. Dari rumah, gua memang sudah punya niat pengen beli kaset band hardcore tapi gua gak tau bandnya apa. Sesampainya di distro tersebut, gua memperhatikan deretan rak berisi kaset dan CD dengan seantero nama-nama band yang asing. Cukup lama waktu gua untuk memutuskan untuk memilih, karena memang gak tau mana yang band hardcore. Ditambah zaman itu gua belum kenal myspace. Saking lamanya mejeng di depan rak kaset, penjaga distro yang akhirnya bertanya pada gua, "Mau cari band apaan boy ?". Gua pun sebenarnya gak tau mau cari band apa. "Band hardcore ada bang ?" tanya gua. Dia langsung menunjuk ke salah satu deretan yang menurutnya diisi oleh band-band hardcore tapi tetep aja namanya masih asing semua buat gua. Hingga pada akhirnya pilihan gua jatuh pada sebuah band Swedia, DS-13.
Pilihan yang membuat gua pada akhirnya memutuskan untuk membeli kaset DS-13, bukan karena band ini punya musik yang keren dan lirik yang cukup politis (ketika itu mana peduli soal yang beginian). Keputusan tersebut gua buat lantaran di depan cover album tersebut bercokol tulisan yang cukup tegas, HARDCORE, tepat di bawah orang yang lagi kepusingan yang sekilas mirip iklan obat sakit kepala. Tanpa pikir panjang lagi langsung gua beli. Akhirnya gua pulang ke rumah dengan sebuah kaset hardcore di tangan. Betapa gua merasa menjadi anak yang paling hardcore ketika itu.
Sejujurnya sehabis album DS-13 dibeli, gua tidak benar-benar suka musik mereka. Jadi memang untuk properti keren-kerenan doang. Betapa kagetnya lagi, ternyata album tersebut dirilis oleh Time Up Records, dengan alamatnya Kukusan Depok. Gua pergi dari Depok ke Blok M untuk beli kaset yang dirilis oleh label Depok. Jarak rumah gua ke Kukusan tidak terlalu jauh, bahkan gua sering lewat sana setiap kali mau lari pagi di UI. Sejak saat itu, setiap kali mau lari pagi ke UI, gua selalu fokus mencari gedung dengan tulisan Time Up Records, karena yang ada dipikiran gua sebuah label rekaman itu pasti memiliki kantor sendiri dan pastinya lagi cukup besar, selayaknya Musica Studio atau Sony BMG. Sayangnya gua tidak pernah menemukannya sampai saat ini karena Time Up Records itu dijalankan oleh seseorang dari sebuah rumah keluarga pada umumnya, tidak memiliki karyawan dan tidak pula bergedung. Dari situlah pada akhirnya gua menjadi tau bahwa anak hardcore/punk selain bikin band ternyata bikin label dan kemudian dari situ juga gua jadi berkenalan dengan etos DIY dalam scene.
Overall, sekarang gua punya dua sisi kenikmatan tersendiri setiap kali mendengarkan DS-13. Pertama, sisi nostalgianya yang gua alami dari ketidak sengajaan membelinya. Kedua, karena memang mereka punya musik yang tight dan bagus. Disamping itu, berkat mereka juga secara tidak langsung memperkenalkan gua pada ide-ide yang ada di scene hardcore/punk melalui lirik "Fascist Cop", "DIY or DIE", "Work Buy Consume and Die", dll. Ada romantisme yang lebih dari sekedar musik dan ide tapi juga cerita dibaliknya ketika menikmati alunan gitar Jante D-kay dan karakter vokalnya Tom Terror. (AL)
**Foto diambil dari koleksi pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar